Home PUISI Kenangan Masa Kecil Bersama Papa

Kenangan Masa Kecil Bersama Papa

100
0

Oleh: Moh. Afandi
Wartawan LPM Qalamun

Angin sore membawa bau tanah basah yang samar-samar mengingatkanku pada masa kecil. Di teras rumah tua ini, aku duduk sambil memandangi pohon mangga yang dulu Papa tanam sendiri. Pohon itu kini menjulang tinggi, rindangnya tak berubah—seolah masih ingin melindungi halaman yang dulu menjadi dunia kecil kami.

Papa belum lama pergi. Tapi dalam diam, kenangannya masih hidup, mengendap di sela-sela hari seperti debu di buku tua yang tak pernah benar-benar hilang.

Dulu, setiap sore, Papa selalu pulang dengan suara langkah yang khas—berat tapi mantap. Aku yang masih kecil akan langsung berlari ke depan pintu, menunggu dengan penuh semangat.
“Papa bawa apa hari ini?” tanyaku, nyaris setiap hari.
Kadang ia membawa permen, kadang sekadar cerita. Tapi yang paling sering, ia membawa tawa.

Kami sering duduk di bawah pohon mangga itu—Papa dengan teh manis di tangannya, aku dengan mobil-mobilan plastikku. Ia tak banyak bicara, tapi selalu hadir. Saat aku jatuh dari sepeda, ia tak langsung mengangkatku. Ia berdiri di dekatku, menunggu aku bangkit sendiri, lalu menepuk bahuku sambil berkata,
“Hebat. Jatuh itu biasa, yang penting bisa berdiri lagi.”

Aku tak mengerti waktu itu. Tapi kini, setelah semua kehilangan dan luka dewasa, kata-katanya seperti jangkar yang menahan aku tetap waras.

Saat Papa sakit, tubuhnya mulai mengecil, suara yang dulu lantang menjadi pelan. Tapi matanya tetap sama—penuh keteguhan dan kasih sayang yang tak pernah usang. Di malam terakhirnya, aku menggenggam tangannya. Tangannya dingin, tapi masih terasa hangat bagi hatiku. Ia menatapku, tersenyum tipis, dan berkata lirih,
“Jangan takut hidup, ya.”

Kini aku tahu, Papa mungkin sudah tiada, tapi ia tak pernah benar-benar pergi. Ia tinggal di setiap keputusan besar yang aku ambil, di setiap langkah yang kutempuh dengan gemetar, dan di setiap doa yang aku bisikkan dalam sepi.

Di bawah pohon mangga ini, aku menengadah, menatap langit yang mulai berwarna jingga. Angin menyapa pipiku seperti tangan Papa yang dulu menepuk lembut kepalaku.

Aku tersenyum.

Papa, aku baik-baik saja. Terima kasih telah mengajariku tentang hidup—dengan caramu yang paling sederhana, dan paling indah.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here