Nama: Ria Andani AH. Timumun
Jurusan: Hukum Ekonomi Syariah
Semester: I
Mensyukuri setiap detik hembusan napas yang terasa damai. Namun, sangat hampa adalah takdir yang sengaja Sang Esa berikan.
Ruang-ruang penuh sesak mendominasi pikiran manusia sekarang. Hamparan kebencian, luasnya kepasrahan. Bercucuran tangis yang kian berjatuhan. Serta keringat kelelahan.
Sesekali manusia berkata, “Kapan kita akan kembali normal seperti sedia kala? Kapan ujian semesta berakhir?. Kemudian apakah kita, manusia lemah semakin sombong atau berdiam diri merutuki takdir yang tak pernah salah?”
Seisi dunia tidak menyadari. Di balik makhluk kecil yang diberikan untuk kesakitan, para penduduk langit bersiap mengawal siapa saja yang berhasil melewati semua ini dengan ketabahan.
Kala itu, aku mendengar sebuah pidato bagaimana kita menghadapi ujian ini. Ujian yang membuat manusia hampir putus asa, merasa terpuruk, hampir kehilangan kewarasan, dan takut akan kehilangan orang terdekat mereka.
Kumatikan benda persegi panjang yang menampilkan deretan iklan di sana. Pidato sudah berakhir beberapa detik yang lalu. Kalimat yang kudengar tadi terus terngiang jelas di telingaku.
“Kamu kenapa sih Rayna” ucapnya tiba-tiba datang. Zira, seorang gadis cantik dan juga sahabatku. Ia duduk di sampingku dan bertanya mengapa aku melamun.
“Zira, kamu sadar nggak sih dunia semakin tua. Kematian sudah ada di mana-mana, bahkan musibah hampir tidak pernah berhenti.” Zira hanya mengangguk, Wajahnya berubah sendu. la menatapku sekilas lalu menunduk lagi dengan helaan napas lelahnya.
“Aku… ayahku sudah dipanggil lebih dulu, aku takut ibuku juga lebih dulu dari aku. Mengingat betapa hancurnya ia ketika Sang Esa memanggil ayahnya untuk pergi ke kehidupan lebih abadi. Zira mulai terisak saat kembali mengingat hari di mana ayahnya pergi untuk selamanya.
“Ra, itu yang aku takutkan. Tapi… nggak seharusnya kita menyalahkan takdir maupun keadaan. Sebab, ini semua sudah diatur. Semesta dan takdir sudah bekerja sama. Mereka merestui semua hal untuk kita. Dalam batas yang paling baik, agar doa-doa dan ketakutan kita segera pulih. Aku tau itu berat. Kehilangan, kesepian, kehampaan, dan semua yang menyakitkan saat ini manusia alam semesta sedang merasakannya.”
“Harapan tidak selamanya cocok dengan takdir. Apa yang kita mau belum tentu direstui oleh semesta.”
“Untuk itu kita hanya bisa pasrah. Jika semesta merestui, itulah yang paling baik. Takdir dan semesta sudah menyusun rapi untuk kita semua.”
Aku mencoba menenangkan zira yang semakin terisak. Semua lontaran yang keluar dari mulutku bukan lain adalah untuk diriku sendiri.
“Ra, aku tahu. Takdir sudah ditetapkan. Kita hanya berperan sebagaimana semestinya, iya kan?.” Aku mengangguk atas ucapan zira.
Benar, kita harus berperan sebagai manusia dalam perannya masing-masing. Dari yang jatuh, semoga kembali utuh. Dari yang bercucuran air mata, semoga bisa lapang dada menerima.