Oleh: Farabillah Ramadhani
Pengurus Redaksional
Korupsi, penindasan, perundungan, pelecehan, nepotisme, pembunuhan adalah sebagian dari banyaknya kasus yang hampir setiap hari muncul dalam pemberitaan. Semuanya menunjukkan betapa parahnya krisis moral yang sedang melanda manusia sebagai pelaku utamanya.
Contoh nyata terjadi pembunuhan massal dan pembantaian manusia—bayi, anak-anak, wanita, pria, hingga lansia—setiap waktu terbunuh di Gaza, Palestina, sejak Oktober 2023 hingga saat ini. Pembantaian massal yang terjadi di sana menunjukkan betapa nurani bisa mati ketika nilai kemanusiaan diabaikan dan kekerasan dinormalisasi.
Di dalam negeri, kita sudah familiar mendengar kasus korupsi bernilai ratusan juta hingga triliunan rupiah—pengkhianatan terhadap bangsa yang seolah menjadi hal lumrah. Bukan hanya korupsi, perundungan juga marak terjadi, baik di sekolah, di tempat kerja, sampai lingkungan sosial. Ikut memenuhi isi beranda, berita pelecehan seksual muncul setiap hari di media sosial, dengan pelaku berasal dari berbagai kalangan—atasan, rekan kerja, kerabat, bahkan orang tua kandung. Nepotisme pun masih menjadi praktik yang tak tersentuh, bahkan kerap dianggap biasa, padahal merusak keadilan sosial. Selain kasus yang disebutkan di atas, tentu masih banyak kasus yang tak terungkap ke publik; ditutupi dan terkubur demi menjaga “nama baik” pelaku atau institusi.
Berbagai persoalan ini tentu tidak terjadi begitu saja. Ada banyak faktor yang melatarbelakangi perilaku menyimpang tersebut, salah satu yang cukup krusial adalah krisis moral. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), moral adalah ajaran tentang baik buruk yang diterima secara umum, mencakup perbuatan, sikap, kewajiban, akhlak, dan budi pekerti.
Dalam hal ini, agama memegang peran penting sebagai fondasi pembentuk moral manusia. Setiap agama pada dasarnya mengajarkan nilai-nilai kebaikan, keluhuran budi, dan kasih sayang. Namun, nilai-nilai tersebut sering kali disalahartikan dan dibuat melenceng oleh manusia, sehingga muncul berbagai konflik bahkan kekerasan atas nama agama. Agama tidak pernah mengajarkan kejahatan, tetapi interpretasi yang keliru dengan kepentingan individu atau kelompok tertentu yang selalu melencengkan nilai-nilai agama.
Agama seharusnya menjadi cahaya dalam gelapnya kehidupan tanpa moral. Ibarat sepasang mata yang mampu melihat objek sejauh apa pun, namun tidak mampu melihat apa pun dalam kegelapan—begitulah manusia tanpa penerangan dari nilai-nilai agama. Sehebat apa pun mereka bernalar, tanpa nilai moral hanya akan menjerumuskan mereka pada pemikiran yang sesat. Kepercayaan tentang kehidupan selanjutnya, surga dan neraka, reinkarnasi, serta hukum karma yang diajarkan agama membentuk rasa takut dan pengharapan dalam diri manusia sehingga menahan mereka untuk berbuat keji dan senantiasa memberi manfaat terhadap sekitarnya.
Terbukti, dalam sebuah studi di Universitas Negeri Medan (UNIMED) menunjukkan bahwa modernisasi melalui teknologi dan globalisasi memang meningkatkan pengetahuan, namun juga memicu penurunan moral ketika nilai agama ditinggalkan. Artinya, perkembangan zaman tanpa diiringi nilai spiritual dapat melemahkan integritas pribadi.
Sementara itu, riset lain menunjukkan bahwa individu yang religius cenderung memiliki kesehatan mental lebih baik, merasa hidupnya lebih bermakna, dan lebih mampu beradaptasi dalam menghadapi tantangan dan masalah.
Maka, di tengah perkembangan zaman dan segala hiruk-pikuknya, agama menjadi kompas moral penunjuk arah bagi setiap individu dan lentera yang membimbing manusia menuju kebaikan. Agama bukan hanya sebatas praktik ibadah, namun juga pedoman hidup yang dengannya manusia menjadi berharga dan menghargai yang lainnya.