Home CERPEN Asrama: Beginning

Asrama: Beginning

5
0

Oleh: Munifa
Wartawan LPM Qalamun

“Mamiii, oh my God!!”

Namanya Sabiya Ananta, atau yang sering dipanggil Biya. Gadis cantik dengan rambut sepunggung, ceria, juga ceriwis itu nyaris jatuh dari ranjang karena mendengar perkataan maminya.

“Mami bercanda, kan? Gak mungkin mami tega buang aku sama Biru ke asrama!” gadis itu memegang dadanya secara dramatis.

Sang mami berkacak pinggang. “Mungkin aja. Mami males punya anak nakal kayak kamu.”

Biya berpura-pura menangis, lalu menatap kembarannya yang duduk anteng di sofa kamar.
“Biruuu, lo juga mau-mau aja diusir ke penjara jelek itu!” cercanya.

Sabiru berdiri, mendekati sang kembaran, lalu mengusap puncak kepalanya.
“Cuma buat sementara, Biya. Lagian asramanya bagus kok. Kemarin aku udah ngecek bareng papi.”

“Nggak mau! Nanti kalau di sana gak bisa main HP, shopping, main… ihh, pokoknya nyebelin!” gadis imut itu menghentakkan kakinya ke lantai.

“Bisa kok, pas weekend. Dicoba dulu, ya. Nanti kalau seminggu gak betah, aku suruh papi jemput.”
Sabiru selalu kalah dengan tangisan adik kembarnya itu, tapi kali ini dia memutuskan untuk mengikuti saran maminya agar adiknya bisa belajar mandiri.

Biya akhirnya mengangguk pelan.
“Terus, kenapa gak bilang sama Biya?” tanyanya.

Sabiru tersenyum. “Udah kok. Kamu aja yang pura-pura gak denger kemarin. Udah siap-siap gih, barang kamu udah Biru packing.” Ia menunjuk koper berwarna pink di sudut kamar.

Biya berjalan gontai menuju kamar mandi. Setelah nyaris dua jam bersiap, gadis itu akhirnya menarik kopernya keluar kamar.

Di ruang tamu sudah ada papi, mami, dan saudara kembarnya yang tersenyum lebar.
“Akhirnya, princess udah siap.”

Perjalanan menuju asrama memakan waktu nyaris dua jam. Sesampainya di gerbang asrama, Biya terkagum-kagum melihat gapura besar yang dikelilingi bunga-bunga cantik.
“Not bad, ini lebih cantik dari sekolah Biya yang lama,” batinnya.

Setelah menyelesaikan semua urusan tempat tinggal dan sekolah, sang ayah dan ibu berpamitan pada si kembar.
“Biya sama Biru baik-baik ya di sini. Kalian harus belajar mandiri, terutama buat Biya.”

“Iih, papi jahat. Janji ya bakal jemput Biya sama Biru tiap weekend.”
Biya memeluk ayahnya erat.

“Iya, janji.”

Setelah berpamitan, Biya dan Biru diantar ke kamar masing-masing. Letaknya cukup jauh karena asrama laki-laki dan perempuan terpisah. Sebelum berbelok di lorong, gadis cantik itu menahan kembarannya.

“Biya takut gak bisa beradaptasi.”

Biru tersenyum lalu mengusap pelan kepala adiknya.
“Gapapa, coba aja dulu. Kalau emang gak bisa, kan ada Biru. Biru selalu di belakang kamu.”

“Okay deh.” Biya tersenyum lalu menarik kopernya menuju kamar barunya.
“Sebenarnya Biya takut, tapi Biya gak bakal bisa kalau gak nyoba. Untung ada Biru.”

Gadis itu tahu, selama ada saudaranya yang mendukung, ia pasti bisa belajar dan tumbuh dengan baik.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here