Oleh: Moh. Ridwan
Wartawan LPM Qalamun
Ketika kita berbicara tentang pemimpin, banyak orang beranggapan bahwa syarat utama seorang pemimpin adalah pintar—pintar membaca, menulis, dan menguasai berbagai bidang ilmu lainnya. Anggapan itu tentu tidak salah, karena kepintaran memang membantu seorang pemimpin dalam mengambil keputusan dengan tepat. Namun, apakah itu sudah cukup untuk mendefinisikan siapa sebenarnya seorang pemimpin itu?
Jika kita menoleh ke belakang, sejarah mencatat banyak pemimpin besar yang dikenal bukan semata-mata karena kecerdasannya, melainkan karena akhlaknya, sikapnya, dan cara mereka memperlakukan orang-orang yang dipimpinnya. Nabi Muhammad SAW, misalnya, diakui dunia sebagai salah seorang pemimpin paling berpengaruh sepanjang masa, meski beliau sendiri tidak bisa membaca dan menulis. Fakta ini menunjukkan bahwa kepemimpinan sejati bukan hanya tentang kecerdasan akademis, melainkan tentang kemampuan memberi teladan, menyatukan, dan membawa orang lain menuju kebaikan.
Saya sendiri sangat menghormati kata-kata dari seorang pemimpin. Ia sangat cerdas dan bijaksana di hadapan banyak orang—luar biasa, pikir saya waktu itu. Menghormati seorang pemimpin bagi saya adalah hal yang seharusnya dilakukan. Namun, suatu ketika, ucapannya justru terasa begitu dalam, seakan pedang yang menancap langsung ke dada. Ia menasihatiku, tapi seolah-olah sedang membunuhku dengan kata-kata. Dari pengalaman itu saya belajar bahwa seorang pemimpin sejati bukan sekadar cerdas atau pandai berkata-kata, melainkan mereka yang mampu menjaga tutur kata dan sikap agar tidak menyakiti hati orang yang dipimpinnya.
Para pemimpin besar di dunia—baik yang berlatar belakang agama, politik, maupun sosial—telah menunjukkan bahwa inti kepemimpinan adalah ketulusan dan integritas. Seorang pemimpin sejati bukan hanya pandai membaca buku, tetapi juga pandai membaca keadaan serta memahami perasaan orang lain.
Maka, ingin aku berkata lagi dan lagi: Siapa sebenarnya seorang pemimpin itu? Pemimpin sejati adalah mereka yang mampu menuntun tanpa melukai, mendengarkan sebelum berbicara, dan memberi teladan melalui tindakan. Kecerdasan memang penting, tetapi yang jauh lebih penting adalah kemampuan menjaga hati dan membangun kepercayaan.
Sebelum tulisan ini selesai, izinkan aku mengirimkan pesan kepadamu, wahai orang yang aku hormati—pemimpin.
“Apakah pantas kau disebut sebagai pemimpin?”
Dan sekali lagi ingin aku katakan,
“SIAPA SEBENARNYA SEORANG PEMIMPIN ITU?”